KOMPAS cetak, Kamis, 1 Oktober 2009 | 03:11 WIB
Padang, Kompas - Gempa bumi berskala 7,6 skala Richter yang mengguncang beberapa wilayah Sumatera Barat, Rabu (30/9) pukul 17.16, mengakibatkan Kota Padang porak poranda, diikuti sejumlah kebakaran. Rabu malam, hujan lebat mengguyur Kota Padang yang berada dalam kondisi gelap gulita tanpa aliran listrik.
Ratusan bangunan runtuh, belasan gedung bertingkat hancur, dan sebagian rumah yang runtuh diikuti kebakaran akibat guncangan gempa. Hingga pukul 00.00 tercatat sedikitnya 75 orang tewas dan puluhan orang luka berat. Kepanikan terjadi di mana-mana.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi berpusat di 0,84 Lintang Selatan, 99,65 Bujur Timur, dan berada di kedalaman 71 kilometer dari permukaan laut. Pusat gempa berada lebih kurang 57 kilometer barat daya Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Semalam, situasi sebagian besar Kota Padang dalam keadaan gelap gulita karena empat gardu induk padam. Petugas tampak melakukan proses pemulihan dengan memanfaatkan gardu induk yang tidak padam.
Direktur Operasi PT PLN (Persero) Murtaqi Syamsuddin di Jakarta menginformasikan, PLTU Ombilin beroperasi normal. Sementara PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak lepas dari sistem sehingga tidak mampu menyalurkan daya listrik ke pelanggan.
”Gedung pembangkit dari PLTA Maninjau dan Singkarak kondisinya aman. Kami melakukan pemeriksaan generator terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam sistem,” ujar Murtaqi. Jaringan distribusi tegangan 20 kilovolt (kV) juga banyak yang roboh.
Menurut pemantauan wartawan Tribun Pekanbaru, situasi Kota Padang sangat mencekam sesaat setelah gempa. Ratusan rumah dan bangunan bertingkat di Kota Padang runtuh. Listrik yang padam justru digantikan nyala api kebakaran rumah dan bangunan di mana-mana. Jaringan internet ngadat dan jalur komunikasi via seluler sebagian tak bisa digunakan.
Beberapa gedung yang runtuh adalah Gedung BII di Jalan Sudirman, Suzuki Ujung Jalan Ujung Gurun, Capella, Sentral Pasaraya Padang, Ramayana di Jalan Pemuda, Anugerah Furniture, serta bangunan Fakultas Teknik Unand di Limau Manis. Gedung Rektorat IAIN Imam Bonjol, Padang, yang terletak di Lubuk Lintah, Kecamatan Kuranji, runtuh dan bangunan masjid yang ada di sana sebagian dindingnya runtuh.
Wartawan Kompas, Arbain Rambey, mengaku sulit menembus Kota Padang. ”Di mana-mana jalan terputus,” kata Arbain yang pada Rabu pagi bertugas memotret karapan sapi di Batusangkar.
Sepanjang perjalanan, beberapa tebing longsor. Arbain masuk Padang melalui Solok setelah jalur Cilayang, Padang Panjang, terputus. Sebuah masjid besar di Kota Padang roboh.
”Saya belum ketemu anak saya, Aditya. Ia mengikuti kursus di Sony Sugema ketika gempa terjadi. Gedung itu runtuh. Kami tidak tahu nasib Aditya,” kata Bambang, dosen Universitas Negeri Padang (UNP).
Elda Gusneri, mahasiswa Kimia UNP, mengatakan, banyak rumah di sekitar perumahannya terbakar di kawasan Jati, Padang. ”Setelah gempa, air tiba-tiba keluar di halaman rumah kami. Saya takut sekali. Apalagi rumah kami hanya satu 1 kilometer dari pantai. Saya sekeluarga mengungsi ke rumah sakit,” kata Linda, warga Padang.
Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi yang tengah berada di Jakarta, Rabu petang, menambahkan, hingga semalam akses komunikasi dari dan menuju Sumbar masih sulit dilakukan dan sejumlah penerbangan langsung menuju Bandara Minangkabau, Kota Padang, ditutup karena kerusakan sistem komunikasi tersebut.
Penjelasan BMKG
Kepala Subbidang Peringatan Dini BMKG Rahmat Triyono mengatakan, intensitas gempa di Kota Padang mencapai VI-VII modified mercalli intensity (MMI). Sedangkan intensitas III–IV MMI terasakan di Bukit Tinggi, Bengkulu, Tapanuli Selatan, Sibolga, dan Gunung Sitoli. Di Jakarta dan Pekan Baru, rambatan gempa yang terasakan intensitasnya II MMI.
Intensitas VI-VII MMI artinya berdampak tembok roboh, struktur bangunan yang biasa saja bisa rusak, dirasakan oleh semua orang, mebel-mebel bergerak, dan bangunan dengan struktur buruk akan roboh.
Sedangkan intensitas III–IV MMI dirasakan oleh orang yang ada di lantai atas, tetapi tidak langsung dipahami sebagai gempa. Intensitas II MMI berarti terasa oleh sedikit orang, terutama yang berada di lantai atas.
”Tidak ada hubungan antara gempa di Padang dan di Samoa. Gempa di Padang itu akibat tumbukan antara lempeng Eurasia dan Indoaustralia, sedangkan di Samoa berada di tengah lempeng Pasifik,” kata Rahmat.
Kepala Bidang Gaya Berat dan Pasang Surut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Parluhutan Manurung menambahkan, stasiun pemantau pasang surut di pesisir Kota Padang merekam ketinggian gelombang tsunami sekitar 20 cm. Sedangkan stasiun pasut di Telo Nias Selatan dan Tua Pejat di Mentawai masing-masing mencatat ketinggian 10 cm.
75 orang tewas
Di Jakarta, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla saat memimpin rapat kabinet terbatas penanganan bencana di kediamannya memutuskan upaya tanggap darurat selama dua bulan mulai hari Kamis ini.
”Kepala Penanggulangan Bencana akan memimpin bersama dengan Menko Perekonomian beserta lima menteri lainnya akan meninjau lokasi bencana,” kata Wapres. Lima menteri itu adalah Menhub Jusman Safeii Djamal, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Mensos Bachtiar Chamsyah.
Wali Kota Padang Fauzi Bahar melalui telepon melaporkan kepada Wapres kondisi kerusakan sementara Kota Padang. Sedangkan Bupati Pariaman Muslim Kasim melaporkan sedikitnya 75 orang tewas dan telah dibawa ke rumah sakit.
Tentang kerusakan bandara, Jusuf Kalla mengatakan tidak ada landasan yang rusak. ”Kecuali menara kontrol yang kosong karena petugasnya meninggalkan tempat tugasnya untuk mengecek keluarganya. Jadi, ini seperti kejadian di Aceh lalu,” ujarnya.
Saat kejadian, Bupati Pariaman Muslim Kasim dan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi sedang berada di Jakarta.
Hujan lebat dan situasi Kota Padang yang gelap gulita menyulitkan upaya pertolongan dan upaya untuk menghitung jumlah korban.
Wapres mengatakan, pemerintah akan mengirim dua pesawat Hercules, kapal laut pengangkut 100 dokter, paramedis dan alat-alat berat, serta obat dan makanan.
Menko Kesra Aburizal Bakrie menambahkan, tahap pertama akan dikucurkan dana Rp 100 miliar ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional dan Rp 5 miliar untuk pembelian kain sarung dan lainnya.
Pemprov Sumbar, menurut Gamawan, masih belum bisa memastikan berapa banyak korban jiwa yang terjadi akibat gempa. Ia mengatakan, besarnya gempa membuat warga sangat panik akan terjadinya gelombang tsunami. ”Karena takut tsunami, banyak warga yang mencoba menyelamatkan diri dengan pergi ke tempat lebih tinggi, meninggalkan rumahnya. Kami masih belum mendapat laporan berapa banyak korban yang meninggal,” kata Gamawan.
(Tim Kompas/Persda Network)
01 Oktober 2009
Tsunami Hantam Pasifik Selatan Sedikitnya 113 Orang Tewas
KOMPAS cetak, Kamis, 1 Oktober 2009 | 03:39 WIB
Gapia, Rabu - Gempa bawah laut berkekuatan 8,0 skala Richter memicu tsunami setinggi hingga 7,5 meter di Pasifik Selatan, Rabu (30/9). Sedikitnya 113 orang tewas di Samoa, Samoa Amerika, dan Tonga akibat bencana tersebut dan jumlah korban diperkirakan terus bertambah.
Gempa mengguncang sekitar pukul 06.48 waktu setempat sekitar 200 kilometer dari Samoa di kedalaman 18 kilometer. Peringatan tsunami diumumkan di sebagian besar wilayah Pasifik. Tidak lama setelah peringatan tsunami dikeluarkan, empat gelombang setinggi 2-6 meter menghantam Samoa dan Samoa Amerika. Gelombang menyapu hingga 1,6 kilometer ke darat.
Sebanyak 84 orang tewas di Samoa, 22 orang tewas di Samoa Amerika, dan 7 orang tewas di Tonga. Empat orang dilaporkan hilang di Pulau Niuatoputapu, Tonga. Di antara korban tewas terdapat warga negara Australia, Inggris, dan Korea Selatan.
Tsunami di Pasifik Selatan dilaporkan juga mencapai Pulau Hachijojima di Jepang, 7.600 kilometer barat laut Samoa, sekitar 10 jam setelah gempa. Badan Meteorologi Jepang menyatakan, tsunami sangat lemah tercatat di perairan pulau tersebut.
Perdana Menteri Samoa Tuilaepa Sailele Malielegaoi tampak terguncang akibat bencana yang melanda negerinya. ”Begitu banyak yang hilang. Banyak orang tewas. Saya sangat terguncang, sangat sedih dengan semua kehilangan ini,” ujarnya.
”Syukurlah, alarm berbunyi di radio sehingga memberi waktu bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Sayangnya, tidak semua orang selamat,” kata Perdana Menteri Malielegaoi dalam penerbangan dari Auckland, Selandia Baru, menuju Apia, ibu kota Samoa.
Kehancuran total
Tayangan di televisi memperlihatkan rumah-rumah berserakan, mobil terendam dan tersapu ke laut atau tersangkut di atas pohon, serta sebuah kapal besar tersapu ke darat dan mendarat di ujung sebuah ruas jalan tol.
Sekitar 20 desa di Upolu, utara Samoa, hancur diterjang gelombang, termasuk Desa Lepa, kampung halaman Perdana Menteri Malielegaoi. Resor-resor di tepi pantai juga hancur.
Saksi mata dan pejabat setempat menuturkan bahwa kehancuran terjadi di sejumlah tempat. ”Sejumlah bangunan benar-benar hancur oleh gelombang. Tidak ada lagi bangunan berdiri kecuali fondasinya,” kata Mike Sala, Direktur Keamanan Dalam Negeri Samoa Amerika.
Pemilik resor Sea Breeze di Samoa, Wendy Booth, menuturkan, dia dan suaminya hampir terseret ke laut saat gelombang menghancurkan resor mereka.
”Gelombang kedua menghantam dan masuk, menjebol pintu, dan melemparkan kami ke luar,” ujar Booth kepada Jaringan Radio Fairfax di Australia.
”Semua terjadi begitu cepat. Seluruh desa tersapu gelombang. Tidak ada lagi bangunan tersisa. Kami semua merangkak ke atas bukit,” ujar Graeme Ansell, warga Selandia Baru, tentang Desa Sau Sau Beach Fale yang rata tersapu gelombang.
Ketua Asosiasi Hotel Samoa Nynette Sass menuturkan, banyak orang yang mencoba menyelamatkan diri dari gelombang justru terseret ke laut.
”Di tepi laut, ada beberapa keluarga beserta anak-anak mereka, semuanya hilang, terseret (ombak). Beberapa orang mencoba menyelamatkan diri dengan naik mobil, tetapi gelombang pun menyapu mobil mereka. Sungguh menyedihkan,” tuturnya.
Tertutup pasir
Taman Nasional Samoa Amerika melaporkan, kerusakan di pusat pengunjung dan kantor- kantor. Beberapa pekerja taman nasional juga dilaporkan hilang. Kawasan pelabuhan Pago Pago, yang hanya beberapa meter di atas permukaan laut, juga rata tersapu gelombang.
Terhambat oleh padamnya listrik dan sarana komunikasi, upaya penyelamatan dan pencarian korban terus dilakukan. Beberapa area tertutup pasir tebal sehingga diperkirakan sejumlah mayat tertimbun pasir dan dibutuhkan peralatan khusus untuk mencarinya.
Di Washington, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan bencana nasional di Samoa Amerika, yang masuk wilayah AS. Pesawat kargo militer C-130 diberangkatkan dari Honolulu, Hawaii, menuju Samoa Amerika. Pejabat AS mengatakan, gelombang kuat dan berbahaya diperkirakan terjadi dari Negara Bagian California hingga Negara Bagian Washington. (ap/afp/reuters/fro)
Gapia, Rabu - Gempa bawah laut berkekuatan 8,0 skala Richter memicu tsunami setinggi hingga 7,5 meter di Pasifik Selatan, Rabu (30/9). Sedikitnya 113 orang tewas di Samoa, Samoa Amerika, dan Tonga akibat bencana tersebut dan jumlah korban diperkirakan terus bertambah.
Gempa mengguncang sekitar pukul 06.48 waktu setempat sekitar 200 kilometer dari Samoa di kedalaman 18 kilometer. Peringatan tsunami diumumkan di sebagian besar wilayah Pasifik. Tidak lama setelah peringatan tsunami dikeluarkan, empat gelombang setinggi 2-6 meter menghantam Samoa dan Samoa Amerika. Gelombang menyapu hingga 1,6 kilometer ke darat.
Sebanyak 84 orang tewas di Samoa, 22 orang tewas di Samoa Amerika, dan 7 orang tewas di Tonga. Empat orang dilaporkan hilang di Pulau Niuatoputapu, Tonga. Di antara korban tewas terdapat warga negara Australia, Inggris, dan Korea Selatan.
Tsunami di Pasifik Selatan dilaporkan juga mencapai Pulau Hachijojima di Jepang, 7.600 kilometer barat laut Samoa, sekitar 10 jam setelah gempa. Badan Meteorologi Jepang menyatakan, tsunami sangat lemah tercatat di perairan pulau tersebut.
Perdana Menteri Samoa Tuilaepa Sailele Malielegaoi tampak terguncang akibat bencana yang melanda negerinya. ”Begitu banyak yang hilang. Banyak orang tewas. Saya sangat terguncang, sangat sedih dengan semua kehilangan ini,” ujarnya.
”Syukurlah, alarm berbunyi di radio sehingga memberi waktu bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Sayangnya, tidak semua orang selamat,” kata Perdana Menteri Malielegaoi dalam penerbangan dari Auckland, Selandia Baru, menuju Apia, ibu kota Samoa.
Kehancuran total
Tayangan di televisi memperlihatkan rumah-rumah berserakan, mobil terendam dan tersapu ke laut atau tersangkut di atas pohon, serta sebuah kapal besar tersapu ke darat dan mendarat di ujung sebuah ruas jalan tol.
Sekitar 20 desa di Upolu, utara Samoa, hancur diterjang gelombang, termasuk Desa Lepa, kampung halaman Perdana Menteri Malielegaoi. Resor-resor di tepi pantai juga hancur.
Saksi mata dan pejabat setempat menuturkan bahwa kehancuran terjadi di sejumlah tempat. ”Sejumlah bangunan benar-benar hancur oleh gelombang. Tidak ada lagi bangunan berdiri kecuali fondasinya,” kata Mike Sala, Direktur Keamanan Dalam Negeri Samoa Amerika.
Pemilik resor Sea Breeze di Samoa, Wendy Booth, menuturkan, dia dan suaminya hampir terseret ke laut saat gelombang menghancurkan resor mereka.
”Gelombang kedua menghantam dan masuk, menjebol pintu, dan melemparkan kami ke luar,” ujar Booth kepada Jaringan Radio Fairfax di Australia.
”Semua terjadi begitu cepat. Seluruh desa tersapu gelombang. Tidak ada lagi bangunan tersisa. Kami semua merangkak ke atas bukit,” ujar Graeme Ansell, warga Selandia Baru, tentang Desa Sau Sau Beach Fale yang rata tersapu gelombang.
Ketua Asosiasi Hotel Samoa Nynette Sass menuturkan, banyak orang yang mencoba menyelamatkan diri dari gelombang justru terseret ke laut.
”Di tepi laut, ada beberapa keluarga beserta anak-anak mereka, semuanya hilang, terseret (ombak). Beberapa orang mencoba menyelamatkan diri dengan naik mobil, tetapi gelombang pun menyapu mobil mereka. Sungguh menyedihkan,” tuturnya.
Tertutup pasir
Taman Nasional Samoa Amerika melaporkan, kerusakan di pusat pengunjung dan kantor- kantor. Beberapa pekerja taman nasional juga dilaporkan hilang. Kawasan pelabuhan Pago Pago, yang hanya beberapa meter di atas permukaan laut, juga rata tersapu gelombang.
Terhambat oleh padamnya listrik dan sarana komunikasi, upaya penyelamatan dan pencarian korban terus dilakukan. Beberapa area tertutup pasir tebal sehingga diperkirakan sejumlah mayat tertimbun pasir dan dibutuhkan peralatan khusus untuk mencarinya.
Di Washington, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan bencana nasional di Samoa Amerika, yang masuk wilayah AS. Pesawat kargo militer C-130 diberangkatkan dari Honolulu, Hawaii, menuju Samoa Amerika. Pejabat AS mengatakan, gelombang kuat dan berbahaya diperkirakan terjadi dari Negara Bagian California hingga Negara Bagian Washington. (ap/afp/reuters/fro)
Label:
Berita Koran
29 September 2009
ST. WENCESLAS PREFERRED SANCTITY TO WORLDLY POWER
VATICAN CITY, 28 SEP 2009 (VIS) - At 8.15 a.m. today the Pope left the apostolic nunciature in Prague and travelled 35 kilometres by car to the church of St. Wenceslas at Stara Boleslav. The church, which stands on the site of the saint's martyrdom, is considered to be the symbolic site of the birth of the Czech nation and is the focus of a national pilgrimage which takes place every year on 28 September.
Wenceslas was born around the year 907 and ascended the throne in 925. According to tradition he was a highly cultured and religious king, a man of justice and a benefactor to the poor. He was killed for political reasons by his brother Boleslav in 935 and in 938 his remains were translated to Prague cathedral. Ever since the tenth century he has been venerated as a saint.
Arriving at the church the Holy Father was greeted by the religious and civil authorities. Having paused in adoration before the Blessed Sacrament, he descended to the crypt of the Mausoleum of the Czech Nation where the relics of the saint are exposed. Before leaving the building the Pope greeted a group of twenty elderly priests who reside in a house belonging to the episcopal conference. He then travelled by popemobile to the nearby esplanade of Melnik where he celebrated Mass for the Solemnity of St. Wenceslas, feast day of the Czech Republic.
In his homily Benedict XVI pointed out that St. Wenceslas "is a model of holiness for all people, especially the leaders of communities and peoples. Yet we ask ourselves: in our day, is holiness still relevant? ... Do we not place more value today on worldly success and glory? Yet how long does earthly success last, and what value does it have?
"The last century - as this land of yours can bear witness - saw the fall of a number of powerful figures who had apparently risen to almost unattainable heights", he added. "Suddenly they found themselves stripped of their power. Those who denied and continue to deny God, and in consequence have no respect for man, appear to have a comfortable life and to be materially successful. Yet one need only scratch the surface to realize how sad and unfulfilled these people are.
"Only those who maintain in their hearts a holy 'fear of God' can also put their trust in man and spend their lives building a more just and fraternal world. Today there is a need for believers with credibility, who are ready to spread in every area of society the Christian principles and ideals by which their action is inspired. This is holiness, the universal vocation of all the baptised, which motivates people to carry out their duty with fidelity and courage, looking not to their own selfish interests but to the common good, seeking God's will at every moment".
Quoting then from today's Gospel in which Christ pronounces the words: "What will it profit a man, if he gains the whole world and forfeits his life?" the Pope reiterated the fact that "the true value of human life is measured not merely in terms of material goods and transient interests, because it is not material goods that quench the profound thirst for meaning and happiness in the heart of every person. This is why Jesus does not hesitate to propose to His disciples the 'narrow' path of holiness".
"The testimony of the saints assures us that it is possible" to follow this path, the Holy Father went on. "Their example encourages those who call themselves Christian to be credible, that is, consistent with the principles and the faith that they profess. It is not enough to appear good and honest: one must truly be so".
"This is the lesson we can learn from St. Wenceslas, who had the courage to prefer the kingdom of heaven to the enticement of worldly power", the Holy Father concluded.
PV-CZECH REP./MASS/MELNIK VIS 090928 (670)
Wenceslas was born around the year 907 and ascended the throne in 925. According to tradition he was a highly cultured and religious king, a man of justice and a benefactor to the poor. He was killed for political reasons by his brother Boleslav in 935 and in 938 his remains were translated to Prague cathedral. Ever since the tenth century he has been venerated as a saint.
Arriving at the church the Holy Father was greeted by the religious and civil authorities. Having paused in adoration before the Blessed Sacrament, he descended to the crypt of the Mausoleum of the Czech Nation where the relics of the saint are exposed. Before leaving the building the Pope greeted a group of twenty elderly priests who reside in a house belonging to the episcopal conference. He then travelled by popemobile to the nearby esplanade of Melnik where he celebrated Mass for the Solemnity of St. Wenceslas, feast day of the Czech Republic.
In his homily Benedict XVI pointed out that St. Wenceslas "is a model of holiness for all people, especially the leaders of communities and peoples. Yet we ask ourselves: in our day, is holiness still relevant? ... Do we not place more value today on worldly success and glory? Yet how long does earthly success last, and what value does it have?
"The last century - as this land of yours can bear witness - saw the fall of a number of powerful figures who had apparently risen to almost unattainable heights", he added. "Suddenly they found themselves stripped of their power. Those who denied and continue to deny God, and in consequence have no respect for man, appear to have a comfortable life and to be materially successful. Yet one need only scratch the surface to realize how sad and unfulfilled these people are.
"Only those who maintain in their hearts a holy 'fear of God' can also put their trust in man and spend their lives building a more just and fraternal world. Today there is a need for believers with credibility, who are ready to spread in every area of society the Christian principles and ideals by which their action is inspired. This is holiness, the universal vocation of all the baptised, which motivates people to carry out their duty with fidelity and courage, looking not to their own selfish interests but to the common good, seeking God's will at every moment".
Quoting then from today's Gospel in which Christ pronounces the words: "What will it profit a man, if he gains the whole world and forfeits his life?" the Pope reiterated the fact that "the true value of human life is measured not merely in terms of material goods and transient interests, because it is not material goods that quench the profound thirst for meaning and happiness in the heart of every person. This is why Jesus does not hesitate to propose to His disciples the 'narrow' path of holiness".
"The testimony of the saints assures us that it is possible" to follow this path, the Holy Father went on. "Their example encourages those who call themselves Christian to be credible, that is, consistent with the principles and the faith that they profess. It is not enough to appear good and honest: one must truly be so".
"This is the lesson we can learn from St. Wenceslas, who had the courage to prefer the kingdom of heaven to the enticement of worldly power", the Holy Father concluded.
PV-CZECH REP./MASS/MELNIK VIS 090928 (670)
Label:
Orang Kudus (VIS)
23 September 2009
HUT Tanpa Perayaan!
Suatu ketika, Dr. Albert Einstein pernah berkata, "A person who never made a mistake never tried anything new!" Artinya bahwa orang mesti berani mengambil resiko ketika memulai sesuatu yang baru. Kegagalan adalah salah satu dari sekian banyak resiko. Selain resiko, tentu saja ada harapan dan janji yang terkandung di dalam keberanian untuk mengambil keputusan dan mewujudkannya dalam tindakan konkret.
Ungkapan bijak Einstein itu mengingatkan saya pada ucapan yang pernah terlontar dari benak Bapa Pendiri Serikat Maria Montfortan (SMM), Santo Louis-Marie de Montfort (1673-1716). Konteks surat itu adalah di mata Pater Montfort, pelayanan kepada kaum fakir miskin, terutama anak-anak, di kota pelabuhan, La Rochelle, Prancis Barat, sangat mendesak. Karena itu, Pater Montfort meminta agar Suster Marie-Louise dari Yesus dan Sr. Cahterine Brunet segera berangkat ke La Rochelle. Karena tiada tanggapan, Pater Montfort pun melayangkan sepucuk surat kepada mereka. Di dalam suratnya itu, Pater Montfort mengatakan, "Barangsiapa tidak berani untuk mengambil resiko bagi Allah, dia tidak akan pernah melakukan sesuatu yang besar bagi-Nya." Kedua suster itu yang sudah cukup lama berkarya di Poitiers pun segera berkemas kemudian berangkat dan memulai tugas baru mereka di kota La Rochelle.
Kesediaan dan keberanian untuk mengambil resiko itu --- atau seperti kata fisikawan kondang itu, keberanian untuk siap untuk melakukan kekeliruan itu, telah dilakukan oleh Superior Jenderal Serikat Maria Montfortan (SMM) dan Dewannya. Pemimpin Tertinggi SMM telah menerima permohonan Vikaris Apostolik Pontianak, Mgr. van Valenberg OFMCap., agar SMM mau mengambil sebagian wilayah Vikariat Pontianak, terutama di bagian Timur Kalimantan Barat, yang hingga saat itu masih dilayani oleh para Pater dan Bruder Kapusin.
Setelah melalui pelbagai proses formal, pada 23 September 1938, Tahta Suci mengeluarkan keputusan bahwa SMM dapat mengambil sebagian wilayah Vikariat Pontianak sebagai daerah misinya di Indonesia. Menyusul keputusan itu, pada 1939, tiga misionaris Montfortan asal Provinsi Belanda, yaitu Pater Harry L'Ortey SMM, Pater Jan Linssen SMM dan Bruder Bruno SMM, diutus sebagai pionir misionaris Montfortan di Indonesia. Ketiga misionaris itu pun meninggalkan negeri Belanda dengan menumpang kapal laut dari menuju ke Indonesia. Setelah berlayar selama berminggu-minggu, akhirnya pada 7 April 1939, ketiga misionaris perintis misi Montfortan di Indonesia itu tiba di pelabuhan Pontianak. Mereka pun memulai karya pelyanan mereka di tengah-tengah kaum miskin dan sederhana di wilayah yang sekarang termasuk Keuskupan Sintang.
Keberanian mereka untuk mengambil resiko dan berani untuk mencoba bahkan mungkin kekeliruan, telah membuahkan hasil yang manis. Perlahan-lahan karya Montfortan bertumbuh. Tidak hanya karya pelayanan, para misionaris Montfortan pun dapat membagikan warisan rohani berharga ajaran Bapa Pendiri kepada umat/Gereja di Indonesia.
Kendati hari ini sesungguhnya adalah sebuah hari istimewa, para Montfortan Indonesia tidak merayakan HUT-nya dengan pesta atau perayaan meriah sebagaimana lazimnya. Di sana ada dua kemungkinan yang terpampang. Pertama, perayaan HUT kelahiran SMM Indonesia ini belum disosialisasikan atau disampaikan kepada semua konfrater. Alasan kedua, para Montfortan ingin agar semangat kesederhanaan St. Montfortan tetap dipertahankan dan dihayati.
Tanpa pesta tidak berarti tidak ada perayaan. Perayaan tanpa persti itulah pesta! Sambil mengucapkan syukur kepada Tuhan, Sang Penyelenggara segala sesuatu, Kebijaksanaan Abadi yang Menjelma melalui tanga Santa Perawan Maria, dan berterima kasih kepada para konfrater perintis yang telah memulai menanamkan benih kehidupan Montfortan di Indonesia, kami mengucapkan "SELAMAT HARI ULANG TAHUN SMM INDONESIA!"
Bunda Maria, Ratu Segala Hati, doakanlah kami.
Santo Montfort, doakanlah kami.
Beata Marie-Louise dari Yesus, doakanlah kami. (LdN)
Ungkapan bijak Einstein itu mengingatkan saya pada ucapan yang pernah terlontar dari benak Bapa Pendiri Serikat Maria Montfortan (SMM), Santo Louis-Marie de Montfort (1673-1716). Konteks surat itu adalah di mata Pater Montfort, pelayanan kepada kaum fakir miskin, terutama anak-anak, di kota pelabuhan, La Rochelle, Prancis Barat, sangat mendesak. Karena itu, Pater Montfort meminta agar Suster Marie-Louise dari Yesus dan Sr. Cahterine Brunet segera berangkat ke La Rochelle. Karena tiada tanggapan, Pater Montfort pun melayangkan sepucuk surat kepada mereka. Di dalam suratnya itu, Pater Montfort mengatakan, "Barangsiapa tidak berani untuk mengambil resiko bagi Allah, dia tidak akan pernah melakukan sesuatu yang besar bagi-Nya." Kedua suster itu yang sudah cukup lama berkarya di Poitiers pun segera berkemas kemudian berangkat dan memulai tugas baru mereka di kota La Rochelle.
Kesediaan dan keberanian untuk mengambil resiko itu --- atau seperti kata fisikawan kondang itu, keberanian untuk siap untuk melakukan kekeliruan itu, telah dilakukan oleh Superior Jenderal Serikat Maria Montfortan (SMM) dan Dewannya. Pemimpin Tertinggi SMM telah menerima permohonan Vikaris Apostolik Pontianak, Mgr. van Valenberg OFMCap., agar SMM mau mengambil sebagian wilayah Vikariat Pontianak, terutama di bagian Timur Kalimantan Barat, yang hingga saat itu masih dilayani oleh para Pater dan Bruder Kapusin.
Setelah melalui pelbagai proses formal, pada 23 September 1938, Tahta Suci mengeluarkan keputusan bahwa SMM dapat mengambil sebagian wilayah Vikariat Pontianak sebagai daerah misinya di Indonesia. Menyusul keputusan itu, pada 1939, tiga misionaris Montfortan asal Provinsi Belanda, yaitu Pater Harry L'Ortey SMM, Pater Jan Linssen SMM dan Bruder Bruno SMM, diutus sebagai pionir misionaris Montfortan di Indonesia. Ketiga misionaris itu pun meninggalkan negeri Belanda dengan menumpang kapal laut dari menuju ke Indonesia. Setelah berlayar selama berminggu-minggu, akhirnya pada 7 April 1939, ketiga misionaris perintis misi Montfortan di Indonesia itu tiba di pelabuhan Pontianak. Mereka pun memulai karya pelyanan mereka di tengah-tengah kaum miskin dan sederhana di wilayah yang sekarang termasuk Keuskupan Sintang.
Keberanian mereka untuk mengambil resiko dan berani untuk mencoba bahkan mungkin kekeliruan, telah membuahkan hasil yang manis. Perlahan-lahan karya Montfortan bertumbuh. Tidak hanya karya pelayanan, para misionaris Montfortan pun dapat membagikan warisan rohani berharga ajaran Bapa Pendiri kepada umat/Gereja di Indonesia.
Kendati hari ini sesungguhnya adalah sebuah hari istimewa, para Montfortan Indonesia tidak merayakan HUT-nya dengan pesta atau perayaan meriah sebagaimana lazimnya. Di sana ada dua kemungkinan yang terpampang. Pertama, perayaan HUT kelahiran SMM Indonesia ini belum disosialisasikan atau disampaikan kepada semua konfrater. Alasan kedua, para Montfortan ingin agar semangat kesederhanaan St. Montfortan tetap dipertahankan dan dihayati.
Tanpa pesta tidak berarti tidak ada perayaan. Perayaan tanpa persti itulah pesta! Sambil mengucapkan syukur kepada Tuhan, Sang Penyelenggara segala sesuatu, Kebijaksanaan Abadi yang Menjelma melalui tanga Santa Perawan Maria, dan berterima kasih kepada para konfrater perintis yang telah memulai menanamkan benih kehidupan Montfortan di Indonesia, kami mengucapkan "SELAMAT HARI ULANG TAHUN SMM INDONESIA!"
Bunda Maria, Ratu Segala Hati, doakanlah kami.
Santo Montfort, doakanlah kami.
Beata Marie-Louise dari Yesus, doakanlah kami. (LdN)
Label:
Refleksi Hari Istimewa
21 September 2009
VISITASI PATER ASISTEN
Oleh: MARCELLO, SMM
Hujan baru saja reda. Di sana- sini tanah, juga aspal tampak terselimut basah. Hari Selasa, hari itu, 8 September, Ruteng diguyur hujan. Memang bukan hanya hari itu, sehari sebelumnya, juga sudah. Hanya saja, hujan hari itu mengejutkan, sebab tak seperti sebelumnya, tingkat kelebatannya, tidak tampak sebagai hujan perdana. Lebat dan deras. Pkl. 14, ia mulai datang. Semakin lama, semakin deras. Tulisan Welcome, kreasi pra frater, yang terpampang di Gapura, tak luput dari terjangan hujan dan juga angin. Beruntung, pada sebentang kain kuning yang terlintas di Gerbang Novisiat, tulisan itu tetap lengket.
Sementara itu, para frater, yang sekaligus menjadi kelompok ronda, tampak bersiap-siap diri. Cemas pun sempat menggelayut. Kepok dan Ronda, yang sedianya di Gerbang, akankah terlaksana sesuai rencana? Rencana lain pun segera dirancang. Sambutan dan Kepok terlaksana di Pintu utama Novisiat.
Di sisi lain, P. Lodo, juga P. Marsel tampak semakin sering berkomuniksi dengan P. Gatot, yang bersama Om John, menjemput di Labuhan Bajo. Tujuannya jelas, meminta informasi, dan tentu juga konfirmasi keberadaannya, serta kedua tamu yang hendak disambut, P. Dwi dan P. Don. Di saat hujan masih berlangsung, sebuah panggilan datang dari P. Gatot, “ Kami sudah di Cancar” katanya. Tak lama kemudian, dia menelepon, “Kami sudah di Woang”.
Dasar beruntung. Langit sepertinya mengamati, juga mengerti dengan sekelompok manusia di kaki pegunungan Mandosawu, yang dihantui rasa cemas, berharap, dan menunnggu redanya hujan, cerah dirinya. Persis, ketika tamu yang dinanti meluncur di kawasan perkotaan Ruteng, titik-titik air dari langit, mereda perlahan, dan tuntas menghilang.
Cerah pun merekah. Kelompok ronda (para frater novis dan postulan, yang diawaki dua lelaki setengah baya anggota KSM), juga para pastor, bruder SMM, dan anggota KSM lainnya bergegas menuju Pintu Gerbang Novisiat sebelah barat.
Tak lama kemudian yang ditunggu pun segera tampak di penghujung jalan, di sebuah simpang sebelah barat novisiat, mobil kijang merah muncul. Dan warga novisiat segera mengenali “ itu mobil kita, itu mereka...”. Tamu yang dinanti kini telah sampai. Segera keduanya keluar dari mobil, menjejakkan kaki di tanah novisiat, disambut senyum cerah dan lega dengan jabat tangan yang hangat dari para pastor SMM.
Di Gerbang barat itu, Para frater dan anggota KSM menyambut dengan penuh ramah. Bpk. Angel, didampingi bpk. Simplisius (keduanya anggota KSM), bergerak sedikit maju menghadap kedua tamu. Sambil memegang wadah yang berisi tuak di tangan, Bpk. Angelus meluncurkan kata-kata penyambutan kepada tamu, yang tegap berdiri menghadapnya. Entahkah sang tamu mengerti kata-kata itu? Sejatinya tidak. Dan Sebabnya jelas. Manggarai dan Inggris itu berbeda dalam hampir segalanya. Tapi satu yang tidak berbeda, bahwa keduanya berada di bumi, dalam satu dunia yang terbentang luas, berbahasa (orang-orang) bumi. Artinya, keduanya dapat bertemu, entah apa pun caranya. Di sini tak ada yang tak mungkin. Dengan kata lain, kemungkinan untuk saling memahami sangat terbuka dan tidak terbatas. Bukankah kemungkinan itu tidak pernah terbatas? Bukankah sarana, medium, dan cara untuk memahami itu juga beragam, tidak terbatas?
Dua kultur bertemu, dua bahasa bersua oleh satu medium. Pater Lodo, P. Arnold, P. Dwi, saat itu menjelma menjadi medium, sebutan lain dari “penerjemah”. Maka yang lain pun berbahagia karena menjadi mengerti berkat medium-medium itu.
Karena sudah saling memahami, tamu pun diantar ke dalam “rumah” novisiat. Masuk ke “rumah” (home), yang sejajar dengan “ramah”. Rumah dan ramah itu setara. Rumah mengandaikan ramah, dan ramah dialami di rumah. Mengalami keramaham berari berada di rumah. Berada di rumah berarti mengalami keramahan.
Namun Keramahan itu perlu tampil kasat mata, visual, diindrai. Warga novisiat paham betul dengan hal ini. Maka bukan hanya kepok yang dilakukan, tetapi juga sebuh prosesi ronda ( tarian perarakan) juga ditampilkan. Kelompok ronda berdengang mengiringi P. Don. Mereka bergerak menuju pintu utama Novisiat. Sepanjang jalan itu, tiga lelaki muda menabuhkan tiga gong dengan irama teratur seiring syair yang dilantun. Di pintu Utama rumah Novisiat, P. Don dan Dwi juga diambut dengan ritus khusus, sebelum berlanju ke Aula novisiat.
Sejenak................. jeda..... Bpk. Andreas, seorang angota KSM, mengambil posisi duduk bersila menghadap tamu yang duduk sejauh 6 meter dihadapannya. Bapak ini tampak sepuh, renta, bersusia 60---- tahun. Giginya tinggal separuh. Katanya, sebagiannya sudah dikembalikan kepada Tuhan. Sebab giginya itu adalah kredit dari Tuhan. Ia hanya tinggal menunggu mengembalikan modal utamanya: Tubuh renta yang tersisa. Demikian ia sendiri berkelakar di depan tamu dan segenap yang hadir saat itu. Meski giginya sudah dikembalikan, namun tidak dengan spiritnya. Semangatnya bergelora, membakar, tapi tidak menghanguskan. “Tubuh boleh renta, gigi biar menghilang, tetapi jiwa harus tetap muda,” ujarnya berapi-api.
Sejenak hening, saat semua orang duduk melingkar bersila pada tempatnya. Bapak Andre, meluncurkan dari mulutnya, kata-kata penyambutan dalam bahasa Manggarai. Diujungnya, ayam dan tuak segera diberikan kepada tamu. Dan dari P. Don, keluar juga kata-kata tanggapan penuh rasa hormat dan sukacita.
Sederhana, tapi anggun. Itulah sekilas potret penyambutan P. Do La Salle, SMM, di Novisiat SMM, Ruteng.
Usai ritus penyambutan, acara lain dimulai. Jarum jam saat itu menunjuk kurang lebih. Pkl. 17.00 WITENG. Di luar ruang, senja kian merapat. Dingin juga terasa mulai menyengat. Sementara waktu untuk makan malam masih jauh. Dua jam kemudian. Karena itu di antara jarak itu perlu diisi sesuatu. Persisnya, sesuatu itu tak lain adalah dialog serta obrolan antara para anggota KSM dan P. Don. Mereka tampak antusias. Mereka bertanya, juga berbagi pengalaman hidup rohani. Semuanya berlangsung hangat dan menarik. Tapi yang penting lagi semua menjadi mengerti, saling memahami. Dua background yang berbeda, menjadi satu, nyambung. Sekali lagi, itulah peran medium. Demikianlah acara hari itu, dilanjutkan dengan makan bersama, pada pkl. 19. Dan sekitar pkl.21.00. anggota KSM bergegas pulang ke rumahnya, ada yang berjalan kaki, ada yang diantar dengan Kijang Novisiat, yang diawaki Br. Frans.
Hari berikutnya, Rabu, 9 September, berlangsung tatap muka khusus para pastor, bruder, dan Frater TOP SMM dengan P. Don, yang ditemani P. Dwi. Dalam pertemuan ini, P. Don mempresentasikan semacam aktulita seputar kongregasi dalam tingkat yang terluas, Generalat. Isu yang penting adalah Kapitel umum Luar Biasa yang tak lama lagi akan segera digelar. Banyak hal lain juga yang dikupas dalam pertemuan ini, terutama yang berkaiatan dengan keprihatinan akan benih panggilan yang semakin menyusut.
Sore hari itu, P. Don dan Dwi meluncur ke Poco. Di sana mereka diminta Pastor Paroki untuk memimpin Misa syukur Panen dan pemberkatan benih di salah satu kelompok, di Stasi Ting. Hampir sepanjang hari berikutnya, Kamis, 10 September, P. Dwi dan P. Don berada di Poco, dan sempat mampir juga di Susteran DW.
P. Don tampaknya tidak hanya ingin bertatap muka khusus dengan konfrater yang lebih tua, tetapi juga dengan mereka yang “pemula”, postulan dan para novis. Karena itu, pada pagi hari Jumat, 11 September, beliau berdialog dengan mereka, ditemani P. Lodo dan P. Stef.
Pada hari yang sama, tepatnya pada sore hari pkl. 17. 00 dilangsungkan Perayaan Ekaristi pengukuhan Magister baru novisiat SMM. Dihadiri oleh sejumlah undangan khusus yang tak terbilang banyak. Usai Homili yang dibawakan oleh P. Don, yang didampingi P. Lodo, melangkah kemudian P. Stef menghadap Altar, yang disusul upacara pengakuan iman sekaligus janji setia untuk mengemban tugas baru sebagai Magister Novisiat SMM. Dengan demikian resmi sudah kedudukannya sebagai Magister dengan segala tugasnya.
Usai misa pelantikan Magister ini, acara dilanjutkan dengan makan bersama pada pkl. 19.00, yang diselingi dengan suguhan suara-suara merdu para novis dan postulan menemani para undangan yang asyik menikmati dinner-nya, sebelum akhirnya mereka perlahan pulang ke rumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, Sabtu, 12 September, jam 06. 30 WITENG, P. Don dan Dwi meninggalkan novisiat. Keduanya ditemani dua sopir setia Kijang, P. Gatot dan Br. Frans menuju Labuhan Bajo.
Hujan baru saja reda. Di sana- sini tanah, juga aspal tampak terselimut basah. Hari Selasa, hari itu, 8 September, Ruteng diguyur hujan. Memang bukan hanya hari itu, sehari sebelumnya, juga sudah. Hanya saja, hujan hari itu mengejutkan, sebab tak seperti sebelumnya, tingkat kelebatannya, tidak tampak sebagai hujan perdana. Lebat dan deras. Pkl. 14, ia mulai datang. Semakin lama, semakin deras. Tulisan Welcome, kreasi pra frater, yang terpampang di Gapura, tak luput dari terjangan hujan dan juga angin. Beruntung, pada sebentang kain kuning yang terlintas di Gerbang Novisiat, tulisan itu tetap lengket.
Sementara itu, para frater, yang sekaligus menjadi kelompok ronda, tampak bersiap-siap diri. Cemas pun sempat menggelayut. Kepok dan Ronda, yang sedianya di Gerbang, akankah terlaksana sesuai rencana? Rencana lain pun segera dirancang. Sambutan dan Kepok terlaksana di Pintu utama Novisiat.
Di sisi lain, P. Lodo, juga P. Marsel tampak semakin sering berkomuniksi dengan P. Gatot, yang bersama Om John, menjemput di Labuhan Bajo. Tujuannya jelas, meminta informasi, dan tentu juga konfirmasi keberadaannya, serta kedua tamu yang hendak disambut, P. Dwi dan P. Don. Di saat hujan masih berlangsung, sebuah panggilan datang dari P. Gatot, “ Kami sudah di Cancar” katanya. Tak lama kemudian, dia menelepon, “Kami sudah di Woang”.
Dasar beruntung. Langit sepertinya mengamati, juga mengerti dengan sekelompok manusia di kaki pegunungan Mandosawu, yang dihantui rasa cemas, berharap, dan menunnggu redanya hujan, cerah dirinya. Persis, ketika tamu yang dinanti meluncur di kawasan perkotaan Ruteng, titik-titik air dari langit, mereda perlahan, dan tuntas menghilang.
Cerah pun merekah. Kelompok ronda (para frater novis dan postulan, yang diawaki dua lelaki setengah baya anggota KSM), juga para pastor, bruder SMM, dan anggota KSM lainnya bergegas menuju Pintu Gerbang Novisiat sebelah barat.
Tak lama kemudian yang ditunggu pun segera tampak di penghujung jalan, di sebuah simpang sebelah barat novisiat, mobil kijang merah muncul. Dan warga novisiat segera mengenali “ itu mobil kita, itu mereka...”. Tamu yang dinanti kini telah sampai. Segera keduanya keluar dari mobil, menjejakkan kaki di tanah novisiat, disambut senyum cerah dan lega dengan jabat tangan yang hangat dari para pastor SMM.
Di Gerbang barat itu, Para frater dan anggota KSM menyambut dengan penuh ramah. Bpk. Angel, didampingi bpk. Simplisius (keduanya anggota KSM), bergerak sedikit maju menghadap kedua tamu. Sambil memegang wadah yang berisi tuak di tangan, Bpk. Angelus meluncurkan kata-kata penyambutan kepada tamu, yang tegap berdiri menghadapnya. Entahkah sang tamu mengerti kata-kata itu? Sejatinya tidak. Dan Sebabnya jelas. Manggarai dan Inggris itu berbeda dalam hampir segalanya. Tapi satu yang tidak berbeda, bahwa keduanya berada di bumi, dalam satu dunia yang terbentang luas, berbahasa (orang-orang) bumi. Artinya, keduanya dapat bertemu, entah apa pun caranya. Di sini tak ada yang tak mungkin. Dengan kata lain, kemungkinan untuk saling memahami sangat terbuka dan tidak terbatas. Bukankah kemungkinan itu tidak pernah terbatas? Bukankah sarana, medium, dan cara untuk memahami itu juga beragam, tidak terbatas?
Dua kultur bertemu, dua bahasa bersua oleh satu medium. Pater Lodo, P. Arnold, P. Dwi, saat itu menjelma menjadi medium, sebutan lain dari “penerjemah”. Maka yang lain pun berbahagia karena menjadi mengerti berkat medium-medium itu.
Karena sudah saling memahami, tamu pun diantar ke dalam “rumah” novisiat. Masuk ke “rumah” (home), yang sejajar dengan “ramah”. Rumah dan ramah itu setara. Rumah mengandaikan ramah, dan ramah dialami di rumah. Mengalami keramaham berari berada di rumah. Berada di rumah berarti mengalami keramahan.
Namun Keramahan itu perlu tampil kasat mata, visual, diindrai. Warga novisiat paham betul dengan hal ini. Maka bukan hanya kepok yang dilakukan, tetapi juga sebuh prosesi ronda ( tarian perarakan) juga ditampilkan. Kelompok ronda berdengang mengiringi P. Don. Mereka bergerak menuju pintu utama Novisiat. Sepanjang jalan itu, tiga lelaki muda menabuhkan tiga gong dengan irama teratur seiring syair yang dilantun. Di pintu Utama rumah Novisiat, P. Don dan Dwi juga diambut dengan ritus khusus, sebelum berlanju ke Aula novisiat.
Sejenak................. jeda..... Bpk. Andreas, seorang angota KSM, mengambil posisi duduk bersila menghadap tamu yang duduk sejauh 6 meter dihadapannya. Bapak ini tampak sepuh, renta, bersusia 60---- tahun. Giginya tinggal separuh. Katanya, sebagiannya sudah dikembalikan kepada Tuhan. Sebab giginya itu adalah kredit dari Tuhan. Ia hanya tinggal menunggu mengembalikan modal utamanya: Tubuh renta yang tersisa. Demikian ia sendiri berkelakar di depan tamu dan segenap yang hadir saat itu. Meski giginya sudah dikembalikan, namun tidak dengan spiritnya. Semangatnya bergelora, membakar, tapi tidak menghanguskan. “Tubuh boleh renta, gigi biar menghilang, tetapi jiwa harus tetap muda,” ujarnya berapi-api.
Sejenak hening, saat semua orang duduk melingkar bersila pada tempatnya. Bapak Andre, meluncurkan dari mulutnya, kata-kata penyambutan dalam bahasa Manggarai. Diujungnya, ayam dan tuak segera diberikan kepada tamu. Dan dari P. Don, keluar juga kata-kata tanggapan penuh rasa hormat dan sukacita.
Sederhana, tapi anggun. Itulah sekilas potret penyambutan P. Do La Salle, SMM, di Novisiat SMM, Ruteng.
Usai ritus penyambutan, acara lain dimulai. Jarum jam saat itu menunjuk kurang lebih. Pkl. 17.00 WITENG. Di luar ruang, senja kian merapat. Dingin juga terasa mulai menyengat. Sementara waktu untuk makan malam masih jauh. Dua jam kemudian. Karena itu di antara jarak itu perlu diisi sesuatu. Persisnya, sesuatu itu tak lain adalah dialog serta obrolan antara para anggota KSM dan P. Don. Mereka tampak antusias. Mereka bertanya, juga berbagi pengalaman hidup rohani. Semuanya berlangsung hangat dan menarik. Tapi yang penting lagi semua menjadi mengerti, saling memahami. Dua background yang berbeda, menjadi satu, nyambung. Sekali lagi, itulah peran medium. Demikianlah acara hari itu, dilanjutkan dengan makan bersama, pada pkl. 19. Dan sekitar pkl.21.00. anggota KSM bergegas pulang ke rumahnya, ada yang berjalan kaki, ada yang diantar dengan Kijang Novisiat, yang diawaki Br. Frans.
Hari berikutnya, Rabu, 9 September, berlangsung tatap muka khusus para pastor, bruder, dan Frater TOP SMM dengan P. Don, yang ditemani P. Dwi. Dalam pertemuan ini, P. Don mempresentasikan semacam aktulita seputar kongregasi dalam tingkat yang terluas, Generalat. Isu yang penting adalah Kapitel umum Luar Biasa yang tak lama lagi akan segera digelar. Banyak hal lain juga yang dikupas dalam pertemuan ini, terutama yang berkaiatan dengan keprihatinan akan benih panggilan yang semakin menyusut.
Sore hari itu, P. Don dan Dwi meluncur ke Poco. Di sana mereka diminta Pastor Paroki untuk memimpin Misa syukur Panen dan pemberkatan benih di salah satu kelompok, di Stasi Ting. Hampir sepanjang hari berikutnya, Kamis, 10 September, P. Dwi dan P. Don berada di Poco, dan sempat mampir juga di Susteran DW.
P. Don tampaknya tidak hanya ingin bertatap muka khusus dengan konfrater yang lebih tua, tetapi juga dengan mereka yang “pemula”, postulan dan para novis. Karena itu, pada pagi hari Jumat, 11 September, beliau berdialog dengan mereka, ditemani P. Lodo dan P. Stef.
Pada hari yang sama, tepatnya pada sore hari pkl. 17. 00 dilangsungkan Perayaan Ekaristi pengukuhan Magister baru novisiat SMM. Dihadiri oleh sejumlah undangan khusus yang tak terbilang banyak. Usai Homili yang dibawakan oleh P. Don, yang didampingi P. Lodo, melangkah kemudian P. Stef menghadap Altar, yang disusul upacara pengakuan iman sekaligus janji setia untuk mengemban tugas baru sebagai Magister Novisiat SMM. Dengan demikian resmi sudah kedudukannya sebagai Magister dengan segala tugasnya.
Usai misa pelantikan Magister ini, acara dilanjutkan dengan makan bersama pada pkl. 19.00, yang diselingi dengan suguhan suara-suara merdu para novis dan postulan menemani para undangan yang asyik menikmati dinner-nya, sebelum akhirnya mereka perlahan pulang ke rumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, Sabtu, 12 September, jam 06. 30 WITENG, P. Don dan Dwi meninggalkan novisiat. Keduanya ditemani dua sopir setia Kijang, P. Gatot dan Br. Frans menuju Labuhan Bajo.
Label:
Berita Novisiat
16 September 2009
Turut Berduka
Kami, Komunitas Novisiat Montfortan, Ruteng, Flores, menyatakan TURUT BERDUKACITA atas kematian banyak saudara-saudari, korban gempa bumi di Jawa. Semoga mereka yang telah meninggal boleh beristirahat dalam damai Tuhan dan saudara-saudari yang menderita akibat peristiwa yang sama. Semoga Saudara-saudari yang sakit dan kehilangan anggota keluarga diberi rahmat kekuatan dan pengharapan oleh Tuhan.
Salam hormat dan doa kami.
Pengelola
Salam hormat dan doa kami.
Pengelola
Label:
Berita Novisiat
12 September 2009
Kunjungan Pater Asisten Jenderal
Tepat pada Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria, 8 September, Komunitas Novisiat Montfortan Ruteng, Manggarai, Flores, mendapat kunjungan Pater Donald La Salle SMM. Kunjungan ke Novisiat adalah salah satu bagian kunjungannya ke semua komunitas SMM di Indonesia. Dua tahun silam, Pater Don, demikian beliau biasa disapa, untuk pertama kalinya berkunjung ke Novisiat. Dalam kunjungan tersebut, asisten Jenderal SMM asal Amerika Serikat ini menghabiskan waktu hampir 2 minggu berada di tengah-tengah para konfraternya di Flores. Beliau mempunyai kesempatan untuk merayakan Pekan Suci baik di Paroki St. Montfort, Poco, maupun di kapel Novisiat, Ruteng.
Bakat, Kebutuhan, Kharisma Montfortan
Namun, kunjungannya kali ini dilaksanakan dalam waktu yang amat singkat. Tiba pada Selasa (8/9) dan kembali pada Sabtu (12/9). Adapun tujuan kunjungannya itu adalah melakukan sosialisasi persiapan Kapitel Umum yang akan dilaksanakan pada 2011 di Roma. Dalam pertemuan dengan para konfraternya (pater dan bruder) di Novisiat Ruteng, Pater Don menjelaskan materi persiapan yang mesti dilakukan oleh setiap anggota Serikat Maria Montfortan di seluruh dunia.
Dijelaskan bahwa Superior Jenderal dan Dewan Jenderal telah mempelajari hasil kapitel-kapitel sebelumnya. Ternyata, di dalam setiap kapitel yang dilaksanakan selama 20 tahun terakhir ini, SMM secara khusus memperhatikan salah satu karakternya, yaitu Misi. "Jika kita berbicara mengenai misi, kita tidak bisa tidak juga berbicara mengenai para misionaris," demikian tegas Pater Don. Dengan demikian, katanya, kita melihat misi sebagai sebuah pengalaman nyata, pengalaman yang muncul dari keterlibatan nyata.
Keterlibatan setiap konfrater dalam sebuah misi atau karya perutusan itu mencakup tiga aspek penting. Pertama, misi itu berkaitan erat dengan bakat-bakat atau talenta-talenta yang dimiliki oleh seorang misionaris Montfortan. Kedua, misi itu berkaitan juga dengan kebutuhan-kebutuhan di mana seorang misionaris diutus/berkarya. Ketiga, misi berkaitan erat dengan kharisma tarekat/kharisma Montfortan, yang tentu saja bersumber pada kharisma Bapa Pendiri, Santo Louis-Marie de Montfort.
Ketiga aspek itu tidak dapat diisolasikan satu dari yang lain. Bakat/talenta yang dimiliki oleh seorang misionaris Montfortan dapat dikembangkan dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai seorang misionaris untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesak umat (Gereja) yang dilayani. Kedua unsur itu harus selaras juga dengan kharisma tarekat.
Dengan banyak contoh, Pater Don menjelaskan kaitan erat di antara ketiga aspek tersebut. Salah satu di antaranya adalah contoh mengenai seorang misionaris yang memiliki bakat sebagai pemusik rock. Dia hanya ingin menjadi seorang musisi rock dan mau membentuk sebuah grup musik rock. Pertanyaan yang perlu diajukan, apakah menjadi pemusik dan membentuk grup musik rock itu menjawab kebutuhan masyarakat/umat yang dilayani atau tidak? Kemudian, apakah hal itu juga sesuai dengan kharisma tarekat?
Setelah menjelaskan tema persiapan Kapitel Jenderal, Pater Don akhirnya mengajak para setiap konfraternya untuk mengisi waktu persiapan kapitel tersebut dengan berdoa, bermeditasi/berefleksi mengenai tema misi dengan diterangi oleh Kitab Suci, secara khusus tulisan-tulisan St. Paulus, juga warisan tulisan St. Montfort (Doa Menggelora, Regula Imam Misionaris, dll.).
Penjelasan mengenai persiapan Kapitel Jenderal tersebut tidak hanya disampaikannya ketika mengadakan pertemuan dengan para konfrater imam dan bruder tetapi juga saat beliau mengadakan pertemuan dengan para calon (postulan dan novis). (LdN)
Pengelola
Bakat, Kebutuhan, Kharisma Montfortan
Namun, kunjungannya kali ini dilaksanakan dalam waktu yang amat singkat. Tiba pada Selasa (8/9) dan kembali pada Sabtu (12/9). Adapun tujuan kunjungannya itu adalah melakukan sosialisasi persiapan Kapitel Umum yang akan dilaksanakan pada 2011 di Roma. Dalam pertemuan dengan para konfraternya (pater dan bruder) di Novisiat Ruteng, Pater Don menjelaskan materi persiapan yang mesti dilakukan oleh setiap anggota Serikat Maria Montfortan di seluruh dunia.
Dijelaskan bahwa Superior Jenderal dan Dewan Jenderal telah mempelajari hasil kapitel-kapitel sebelumnya. Ternyata, di dalam setiap kapitel yang dilaksanakan selama 20 tahun terakhir ini, SMM secara khusus memperhatikan salah satu karakternya, yaitu Misi. "Jika kita berbicara mengenai misi, kita tidak bisa tidak juga berbicara mengenai para misionaris," demikian tegas Pater Don. Dengan demikian, katanya, kita melihat misi sebagai sebuah pengalaman nyata, pengalaman yang muncul dari keterlibatan nyata.
Keterlibatan setiap konfrater dalam sebuah misi atau karya perutusan itu mencakup tiga aspek penting. Pertama, misi itu berkaitan erat dengan bakat-bakat atau talenta-talenta yang dimiliki oleh seorang misionaris Montfortan. Kedua, misi itu berkaitan juga dengan kebutuhan-kebutuhan di mana seorang misionaris diutus/berkarya. Ketiga, misi berkaitan erat dengan kharisma tarekat/kharisma Montfortan, yang tentu saja bersumber pada kharisma Bapa Pendiri, Santo Louis-Marie de Montfort.
Ketiga aspek itu tidak dapat diisolasikan satu dari yang lain. Bakat/talenta yang dimiliki oleh seorang misionaris Montfortan dapat dikembangkan dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai seorang misionaris untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesak umat (Gereja) yang dilayani. Kedua unsur itu harus selaras juga dengan kharisma tarekat.
Dengan banyak contoh, Pater Don menjelaskan kaitan erat di antara ketiga aspek tersebut. Salah satu di antaranya adalah contoh mengenai seorang misionaris yang memiliki bakat sebagai pemusik rock. Dia hanya ingin menjadi seorang musisi rock dan mau membentuk sebuah grup musik rock. Pertanyaan yang perlu diajukan, apakah menjadi pemusik dan membentuk grup musik rock itu menjawab kebutuhan masyarakat/umat yang dilayani atau tidak? Kemudian, apakah hal itu juga sesuai dengan kharisma tarekat?
Setelah menjelaskan tema persiapan Kapitel Jenderal, Pater Don akhirnya mengajak para setiap konfraternya untuk mengisi waktu persiapan kapitel tersebut dengan berdoa, bermeditasi/berefleksi mengenai tema misi dengan diterangi oleh Kitab Suci, secara khusus tulisan-tulisan St. Paulus, juga warisan tulisan St. Montfort (Doa Menggelora, Regula Imam Misionaris, dll.).
Penjelasan mengenai persiapan Kapitel Jenderal tersebut tidak hanya disampaikannya ketika mengadakan pertemuan dengan para konfrater imam dan bruder tetapi juga saat beliau mengadakan pertemuan dengan para calon (postulan dan novis). (LdN)
Pengelola
Label:
Berita Novisiat
09 September 2009
Dipanggil Untuk Menjadi Montfortan Yang Baik
Pada hari terakhir kunjungannya, Jumat (11/9), Pater Don La Salle SMM, mempunyai kesempatan istimewa untuk menyaksikan sekaligus meneguhkan Pater Stefanus Seli SMM, yang telah ditunjuk sebagai Magister Novis oleh Superior Jenderal, Pater Santino Brembilla SMM.
Upacara pelantikan Pater Stef menjadi Magister Novis dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi, dipimpin oleh Superior Delegasi SMM Indonesia, Pater Joseph Dwi Dharma Watun SMM yang didampingi oleh Pater Don dan para formator di Novisiat Montfortan serta Rm. Ardus Noveri Pr., Pastor Kepala Paroki St. Mikhael, Kumba. Novisiat Montfortan berada di wilayah paroki ini.
Dalam kata pengantarnya, Pater Dwi mengatakan bahwa intensi perayaan Ekaristi tersebut adalah untuk memohon rahmat kebijaksanaan bagi Pater Stef dan para formator yang akan membimbing para calon Montfortan di rumah pembinaan awal ini.
Sementara itu, Pater Don La Salle, dalam homilinya mengingatkan bahwa Pater Stef dipanggil bukan untuk menjadi seorang Montfortan yang sempurna tetapi dipanggil untuk menjadi seorang Montfortan yang baik. Untuk itu, Pater Stef dan para konfrater yang diutus untuk menjadi formator siap untuk melakukan sebuah perjalanan bersama dengan para calon (postulan dan novis) menuju kepada pertobatan batin. Perjalanan bersama itu akan terasa indah ketika antara formator (pembina) dan formandi (yang dibina/para calon) mau berbagi kisah.
"Dan atas nama Superior Jenderal, Pater Santino, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pater Stef untuk menerima tugas ini," demikian ujar Pater Don mengakhiri homilinya. (LdN)
Pengelola
Upacara pelantikan Pater Stef menjadi Magister Novis dilaksanakan dalam perayaan Ekaristi, dipimpin oleh Superior Delegasi SMM Indonesia, Pater Joseph Dwi Dharma Watun SMM yang didampingi oleh Pater Don dan para formator di Novisiat Montfortan serta Rm. Ardus Noveri Pr., Pastor Kepala Paroki St. Mikhael, Kumba. Novisiat Montfortan berada di wilayah paroki ini.
Dalam kata pengantarnya, Pater Dwi mengatakan bahwa intensi perayaan Ekaristi tersebut adalah untuk memohon rahmat kebijaksanaan bagi Pater Stef dan para formator yang akan membimbing para calon Montfortan di rumah pembinaan awal ini.
Sementara itu, Pater Don La Salle, dalam homilinya mengingatkan bahwa Pater Stef dipanggil bukan untuk menjadi seorang Montfortan yang sempurna tetapi dipanggil untuk menjadi seorang Montfortan yang baik. Untuk itu, Pater Stef dan para konfrater yang diutus untuk menjadi formator siap untuk melakukan sebuah perjalanan bersama dengan para calon (postulan dan novis) menuju kepada pertobatan batin. Perjalanan bersama itu akan terasa indah ketika antara formator (pembina) dan formandi (yang dibina/para calon) mau berbagi kisah.
"Dan atas nama Superior Jenderal, Pater Santino, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pater Stef untuk menerima tugas ini," demikian ujar Pater Don mengakhiri homilinya. (LdN)
Pengelola
Label:
Berita Novisiat
Langganan:
Postingan (Atom)