Oleh: MARCELLO, SMM
Hujan baru saja reda. Di sana- sini tanah, juga aspal tampak terselimut basah. Hari Selasa, hari itu, 8 September, Ruteng diguyur hujan. Memang bukan hanya hari itu, sehari sebelumnya, juga sudah. Hanya saja, hujan hari itu mengejutkan, sebab tak seperti sebelumnya, tingkat kelebatannya, tidak tampak sebagai hujan perdana. Lebat dan deras. Pkl. 14, ia mulai datang. Semakin lama, semakin deras. Tulisan Welcome, kreasi pra frater, yang terpampang di Gapura, tak luput dari terjangan hujan dan juga angin. Beruntung, pada sebentang kain kuning yang terlintas di Gerbang Novisiat, tulisan itu tetap lengket.
Sementara itu, para frater, yang sekaligus menjadi kelompok ronda, tampak bersiap-siap diri. Cemas pun sempat menggelayut. Kepok dan Ronda, yang sedianya di Gerbang, akankah terlaksana sesuai rencana? Rencana lain pun segera dirancang. Sambutan dan Kepok terlaksana di Pintu utama Novisiat.
Di sisi lain, P. Lodo, juga P. Marsel tampak semakin sering berkomuniksi dengan P. Gatot, yang bersama Om John, menjemput di Labuhan Bajo. Tujuannya jelas, meminta informasi, dan tentu juga konfirmasi keberadaannya, serta kedua tamu yang hendak disambut, P. Dwi dan P. Don. Di saat hujan masih berlangsung, sebuah panggilan datang dari P. Gatot, “ Kami sudah di Cancar” katanya. Tak lama kemudian, dia menelepon, “Kami sudah di Woang”.
Dasar beruntung. Langit sepertinya mengamati, juga mengerti dengan sekelompok manusia di kaki pegunungan Mandosawu, yang dihantui rasa cemas, berharap, dan menunnggu redanya hujan, cerah dirinya. Persis, ketika tamu yang dinanti meluncur di kawasan perkotaan Ruteng, titik-titik air dari langit, mereda perlahan, dan tuntas menghilang.
Cerah pun merekah. Kelompok ronda (para frater novis dan postulan, yang diawaki dua lelaki setengah baya anggota KSM), juga para pastor, bruder SMM, dan anggota KSM lainnya bergegas menuju Pintu Gerbang Novisiat sebelah barat.
Tak lama kemudian yang ditunggu pun segera tampak di penghujung jalan, di sebuah simpang sebelah barat novisiat, mobil kijang merah muncul. Dan warga novisiat segera mengenali “ itu mobil kita, itu mereka...”. Tamu yang dinanti kini telah sampai. Segera keduanya keluar dari mobil, menjejakkan kaki di tanah novisiat, disambut senyum cerah dan lega dengan jabat tangan yang hangat dari para pastor SMM.
Di Gerbang barat itu, Para frater dan anggota KSM menyambut dengan penuh ramah. Bpk. Angel, didampingi bpk. Simplisius (keduanya anggota KSM), bergerak sedikit maju menghadap kedua tamu. Sambil memegang wadah yang berisi tuak di tangan, Bpk. Angelus meluncurkan kata-kata penyambutan kepada tamu, yang tegap berdiri menghadapnya. Entahkah sang tamu mengerti kata-kata itu? Sejatinya tidak. Dan Sebabnya jelas. Manggarai dan Inggris itu berbeda dalam hampir segalanya. Tapi satu yang tidak berbeda, bahwa keduanya berada di bumi, dalam satu dunia yang terbentang luas, berbahasa (orang-orang) bumi. Artinya, keduanya dapat bertemu, entah apa pun caranya. Di sini tak ada yang tak mungkin. Dengan kata lain, kemungkinan untuk saling memahami sangat terbuka dan tidak terbatas. Bukankah kemungkinan itu tidak pernah terbatas? Bukankah sarana, medium, dan cara untuk memahami itu juga beragam, tidak terbatas?
Dua kultur bertemu, dua bahasa bersua oleh satu medium. Pater Lodo, P. Arnold, P. Dwi, saat itu menjelma menjadi medium, sebutan lain dari “penerjemah”. Maka yang lain pun berbahagia karena menjadi mengerti berkat medium-medium itu.
Karena sudah saling memahami, tamu pun diantar ke dalam “rumah” novisiat. Masuk ke “rumah” (home), yang sejajar dengan “ramah”. Rumah dan ramah itu setara. Rumah mengandaikan ramah, dan ramah dialami di rumah. Mengalami keramaham berari berada di rumah. Berada di rumah berarti mengalami keramahan.
Namun Keramahan itu perlu tampil kasat mata, visual, diindrai. Warga novisiat paham betul dengan hal ini. Maka bukan hanya kepok yang dilakukan, tetapi juga sebuh prosesi ronda ( tarian perarakan) juga ditampilkan. Kelompok ronda berdengang mengiringi P. Don. Mereka bergerak menuju pintu utama Novisiat. Sepanjang jalan itu, tiga lelaki muda menabuhkan tiga gong dengan irama teratur seiring syair yang dilantun. Di pintu Utama rumah Novisiat, P. Don dan Dwi juga diambut dengan ritus khusus, sebelum berlanju ke Aula novisiat.
Sejenak................. jeda..... Bpk. Andreas, seorang angota KSM, mengambil posisi duduk bersila menghadap tamu yang duduk sejauh 6 meter dihadapannya. Bapak ini tampak sepuh, renta, bersusia 60---- tahun. Giginya tinggal separuh. Katanya, sebagiannya sudah dikembalikan kepada Tuhan. Sebab giginya itu adalah kredit dari Tuhan. Ia hanya tinggal menunggu mengembalikan modal utamanya: Tubuh renta yang tersisa. Demikian ia sendiri berkelakar di depan tamu dan segenap yang hadir saat itu. Meski giginya sudah dikembalikan, namun tidak dengan spiritnya. Semangatnya bergelora, membakar, tapi tidak menghanguskan. “Tubuh boleh renta, gigi biar menghilang, tetapi jiwa harus tetap muda,” ujarnya berapi-api.
Sejenak hening, saat semua orang duduk melingkar bersila pada tempatnya. Bapak Andre, meluncurkan dari mulutnya, kata-kata penyambutan dalam bahasa Manggarai. Diujungnya, ayam dan tuak segera diberikan kepada tamu. Dan dari P. Don, keluar juga kata-kata tanggapan penuh rasa hormat dan sukacita.
Sederhana, tapi anggun. Itulah sekilas potret penyambutan P. Do La Salle, SMM, di Novisiat SMM, Ruteng.
Usai ritus penyambutan, acara lain dimulai. Jarum jam saat itu menunjuk kurang lebih. Pkl. 17.00 WITENG. Di luar ruang, senja kian merapat. Dingin juga terasa mulai menyengat. Sementara waktu untuk makan malam masih jauh. Dua jam kemudian. Karena itu di antara jarak itu perlu diisi sesuatu. Persisnya, sesuatu itu tak lain adalah dialog serta obrolan antara para anggota KSM dan P. Don. Mereka tampak antusias. Mereka bertanya, juga berbagi pengalaman hidup rohani. Semuanya berlangsung hangat dan menarik. Tapi yang penting lagi semua menjadi mengerti, saling memahami. Dua background yang berbeda, menjadi satu, nyambung. Sekali lagi, itulah peran medium. Demikianlah acara hari itu, dilanjutkan dengan makan bersama, pada pkl. 19. Dan sekitar pkl.21.00. anggota KSM bergegas pulang ke rumahnya, ada yang berjalan kaki, ada yang diantar dengan Kijang Novisiat, yang diawaki Br. Frans.
Hari berikutnya, Rabu, 9 September, berlangsung tatap muka khusus para pastor, bruder, dan Frater TOP SMM dengan P. Don, yang ditemani P. Dwi. Dalam pertemuan ini, P. Don mempresentasikan semacam aktulita seputar kongregasi dalam tingkat yang terluas, Generalat. Isu yang penting adalah Kapitel umum Luar Biasa yang tak lama lagi akan segera digelar. Banyak hal lain juga yang dikupas dalam pertemuan ini, terutama yang berkaiatan dengan keprihatinan akan benih panggilan yang semakin menyusut.
Sore hari itu, P. Don dan Dwi meluncur ke Poco. Di sana mereka diminta Pastor Paroki untuk memimpin Misa syukur Panen dan pemberkatan benih di salah satu kelompok, di Stasi Ting. Hampir sepanjang hari berikutnya, Kamis, 10 September, P. Dwi dan P. Don berada di Poco, dan sempat mampir juga di Susteran DW.
P. Don tampaknya tidak hanya ingin bertatap muka khusus dengan konfrater yang lebih tua, tetapi juga dengan mereka yang “pemula”, postulan dan para novis. Karena itu, pada pagi hari Jumat, 11 September, beliau berdialog dengan mereka, ditemani P. Lodo dan P. Stef.
Pada hari yang sama, tepatnya pada sore hari pkl. 17. 00 dilangsungkan Perayaan Ekaristi pengukuhan Magister baru novisiat SMM. Dihadiri oleh sejumlah undangan khusus yang tak terbilang banyak. Usai Homili yang dibawakan oleh P. Don, yang didampingi P. Lodo, melangkah kemudian P. Stef menghadap Altar, yang disusul upacara pengakuan iman sekaligus janji setia untuk mengemban tugas baru sebagai Magister Novisiat SMM. Dengan demikian resmi sudah kedudukannya sebagai Magister dengan segala tugasnya.
Usai misa pelantikan Magister ini, acara dilanjutkan dengan makan bersama pada pkl. 19.00, yang diselingi dengan suguhan suara-suara merdu para novis dan postulan menemani para undangan yang asyik menikmati dinner-nya, sebelum akhirnya mereka perlahan pulang ke rumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, Sabtu, 12 September, jam 06. 30 WITENG, P. Don dan Dwi meninggalkan novisiat. Keduanya ditemani dua sopir setia Kijang, P. Gatot dan Br. Frans menuju Labuhan Bajo.
21 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda boleh memberi komentar! Trims!